Jumat, 31 Agustus 2012

Surat untuk Penyair Muda - Rainer Maria Rilke


Kau tanyakan apakah sajak-sajakmu bagus. Kau tanyakan padaku. Sebelumnya kau pun telah bertanya pada yang lain. Kau kirim sajak-sajakmu itu ke berbagai majalah. Kau banding-bandingkan dengan sajak-sajak yang lain. Dan kau pun jadi terganggu ketika ada redaktur yang menolak upayamu itu. Kini, (karena kau izinkan aku menasehati kau), aku minta kau jangan lagi melakukan semua ikhtiar  semacam itu. Kau melihat ke luar, dan dari segala-galanya itulah yang kini harus tidak boleh kau lakukan.

Tidak ada orang yang bisa menasehati dan menolongmu, tak seorang pun. Hanya satu-satunya cara yang ada: Pergilah masuk ke dalam dirimu. Temukan sebab atau alasan yang mendorongmu menulis: Perhatikan apakah alasan itu menumbuhkan akar yang di dalam ceruk-ceruk hatimu. Bikinlah pengakuan pada dirimu sendiri, apa kau harus mati jika sekiranya kau dilarang menulis. Pertama-tama tanyakan dirimu dalam ketenangan malam: haruskah aku menulis? Menukiklah ke dalam lubuk dirimu agar kau mendapat jawaban yang dalam. Dan jika jawabannya ya, jika pertanyaan yang khidmat tadi dijawab dengan sederhana dan mantap ”aku harus”,  maka binalah dirimu sesuai dengan keharusan itu. Hidupmu, baik pada saat-saat yang paling remeh dan sepele sekalipun, haruslah merupakan bukti dan kesaksian dari dorongan menulis itu.

Kemudian cobalah dekati alam. Lantas usahakan seakan-akan kau adalah salah seorang dari orang-orang pertama yang mengatakan apa yang kau lihat dan apa yang kau alami, yang kau cintai dan kehilangan-kehilanganmu. Jangan tulis sajak cinta. Jauhi dahulu bentuk-bentuk yang sangat familiar dan biasa itu. Karena bentuk yang semacam itu adalah yang paling sulit.

Di dalam tradisi yang bertaburan dengan karya bagus dan sebagian cemerlang itu, diperlukan kekuatan besar dan penuh dewasa untuk bisa memberi sumbangan individual. Maka itu, dari tema-tema umum, berpalinglah pada apa yang diberikan oleh kehidupanmu sehari-hari; Lukislah dukacita dan keinginan-keinginanmu. Pikiran-pikiran yang melintas dalam dirimu. dan keyakinanmu dalam suatu keindahan tertentu. Lukiskan semuanya itu dengan sepenuh hati, sungguh-sungguh, rendah hati dan ikhlas. Gunakanlah benda-benda di sekitarmu, imaji-imaji dirimu dan kenangan-kenanganmu untuk mengekspresikan dirimu.
Jika kehidupanmu sehari-hari terasa miskin dan gersang, jangan sesalkan dirimu, katakanlah pada dirimu, kepenyairanmu tidak cukup untuk dapat menggali kekayaan dirimu. Karena bagi setiap pencipta tidak ada kegersangan dan tidak ada tempat yang penting dan gersang. Bahkan jika kau sekiranya berada dalam penjara dengan tembok-temboknya yang menjauhkan kau dari suara dunia,—bukankah kau tetap masih memiliki masa kanak-kanakmu sebagai gudang khazanah kenangan yang kaya raya? Perhatikanlah itu. Cobalah bangkitkan kembali sensasi-sensasi yang tenggelam dari masa lampau yang jauh itu. Kepribadianmu akan lebih kuat tumbuhnya, kesunyianmu akan berkembang menjadi tempat tinggal yang temaram di mana suara-suara yang lain lewat di kejauhan.

Dan jika dari menengok ke dalam ini, dari menyelam ke dalam ini, dari menyelam ke dalam dunia pribadimu ini, akan muncul sajak-sajak. Tidak usah kau tanyakan pada siapapun apa sajakmu itu sajak yang baik. Juga tak perlu kau upayakan agar majalah dan koran-koran menaruh perhatian terhadap karya-karyamu itu. Karena karyamu itu adalah milikmu yang sejati dan berharga, suatu bagian dan suara dari kehidupanmu. Suatu karya seni menjadi baik jika tumbuh dari kebutuhan yang wajar. Dari cara ia berasal. Di situlah letaknya. Penilaian yang benar: tidak ada cara lain. Maka itu, aku tidak bisa memberi nasihat kecuali ini:  pergilah masuk kedalam dirimu, galilah sampai ke dasar tempat kehidupanmu berasal; pada sumbernya itu, kau akan mendapatkan jawaban apakah kau memang harus mencipta. Dengarkan suaranya, tanpa terlalu cerewet menyimak kata-kata.

Barangkali memang sudah merupakan panggilan bahwa kau harus jadi seniman. Maka terimalah takdirmu itu, tanggungkan naik bebannya maupun kebesarannya, tanpa minta-minta penghargaan dari luar dirimu. Karena seorang pencipta haruslah menjadi sebuah dunia bagi dirinya sendiri, dan menemukan segala-galanya di dalam dirinya sendiri, serta di dalam Alam tempat dirinya berada.

Namun setelah masuk ke dalam diri dan  ke  dalam  kesendirianmu,  mungkin kau harus melepaskan keinginanmu untuk menjadi penyair; (bagi saya, seseorang bisa hidup tanpa harus menulis daripada samasekali berspekulasi untuk itu). Meskipun demikian, upaya memusatkan perhatian ke dalam diri sendiri yang kuanjurkan itu, tidaklah sia-sia. Bagaimanapun juga hidupmu sejak itu akan menemukan jalannya sendiri. dan kuharapkan hidupmu menjadi baik dan kaya serta tinggi pencapaiannya lebih dari apa yang bisa aku ucapkan.

Apa lagi yang harus kukatakan? Rasanya segala telah mendapat tekanan yang wajar. Akhirnya aku ingin menasehati agar mau menumbuhkan dirimu secara serius. Tidak ada cara yang lebih ganas menghalangi pertumbuhanmu kecuali dengan melihat ke luar, dan upaya mengharapkan jawaban dari luar, terhadap pertanyaan-pertanyaanmu yang agaknya hanya perasaanmu yang paling dalam dan saat-saatmu yang paling hening bisa menjawabnya”.

***


Diterjemahkan oleh: Sutardji Calzoum Bachri dari Letters To A Young Poet karya penyair Jerman Rainer Maria Rilke.

Senin, 27 Agustus 2012

SUBLIM - HASIF AMINI


Hasif Amini

SEBUAH karya yang indah bisa mengundang kekaguman, kesenangan, atau kepuasan. Sebuah karya yang sublim bisa membangkitkan kedahsyatan, keharuan, bahkan kegelisahan. Adapun yang sesungguhnya terjadi, tentu, bisa tak sesederhana itu.

Sublim. Kata ini lazim disebut untuk menyatakan sifat agung, tinggi, atau halus, pada suatu karya seni. Mungkin orang menghubungkannya dengan proses fisika ”menyublim”, yakni mengubah zat padat menjadi uap dan memadatkannya lagi demi mencapai kadar kemurnian yang lebih tinggi. Atau orang menautkannya dengan istilah ”sublimasi” dalam psikologi, yang berarti mengubah dorongan naluri yang dianggap primitif menjadi tindakan yang dapat diterima atau dihargai oleh masyarakat yang beradab. Malahan, ada kalanya kata ”sublim” dipertukarkan dengan ”subtil” yang memang berarti halus, lembut, atau cerdik, bijaksana. Barangkali kemiripan sejumlah besar unsur kedua kata itu telah mengecoh sejumlah orang.

Namun, kata (dan terutama pengertian) ”sublim” ternyata punya riwayat yang memang jauh dari sederhana. Inilah juga gagasan yang diam-diam hampir tak pernah melepaskan cekamannya atas dunia penciptaan. Berbeda dengan ”yang indah” yang pernah digugat lantaran dianggap banal dan mengelabui serta memalingkan orang dari pemandangan dunia yang timpang ”yang sublim” tampaknya tak pernah kehilangan daya pesonanya.

Traktat kuno berjudul Peri Hypsous (On the Sublime, Tentang yang Sublim) konon ditulis seorang sarjana bernama Longinus dari abad ketiga Masehi, namun belakangan dinyatakan berasal dari dua abad sebelumnya dan entah siapa penulisnya adalah pembuka pembicaraan tentang ”yang sublim”. Dalam risalah itu, ”sublim” (berasal dari terjemahan Latin atas kata Yunani hypsos, ”ketinggian, keluhuran”, yang kemudian diteruskan pemakaiannya dalam pelbagai bahasa lain) mengacu pada pencapaian literer lewat metafora yang melampaui batas-batas bahasa umum. Kepiawaian itu terbangun dari sejumlah anasir: keagungan pikiran, kekuatan imajinasi, gaya bahasa yang tepat, pemilihan dan penyusunan kata secara efektif, dan akhirnya penataan keseluruhan karya secara organik.

Hingga berabad-abad, terutama sejak Renaissance, risalah itu menjadi salah satu panduan utama penciptaan dan penilaian karya sastra di Eropa. Pada tahun 1711 penyair Inggris Alexander Pope, dalam sajaknya An Essay on Criticism, angkat tabik kepada tokoh yang di masa itu masih dianggap sebagai penulis naskah klasik tersebut: ”Thee, bold Longinus!” Hampir setengah abad kemudian, pada tahun 1757, terbitlah A Philosophical Enquiry into the Origin of Our Ideas of the Sublime and Beautiful karya Edmund Burke.

Dalam traktat itu, Burke membedakan antara yang sublim dan yang indah. ”Yang indah” tentu saja enak dan mudah dinikmati, menimbulkan rasa suka, memperlihatkan kehalusan, kelembutan, keluwesan, kegemilangan, bahkan kemungilan. Sedangkan ”yang sublim”, sebaliknya, berhubungan dengan kepedihan, kekelaman, kesunyian, bahaya, kedalaman, kekosongan, tetapi juga kemegahan, kemahaluasan, ketakterhinggaan. Dibanding ”yang indah”, bagi Burke ”yang sublim” jauh lebih mampu membangkitkan emosi terkuat yang ada dalam diri seseorang. Pandangan ini kemudian berpengaruh besar terhadap estetika romantisisme dan kelak terus mengalami metamorfosisnya melalui ekspresionisme, simbolisme, Dada, surealisme, dan pelbagai aliran avant-garde.

Tak lama setelah Burke, pada tahun 1764 Immanuel Kant menerbitkan risalahnya tentang ”yang indah dan yang sublim”. Ia menelaah kedua gejala itu secara terperinci, meski kadang agak berlebihan, seperti ketika ia memilah watak bangsa-bangsa ke dalam dua kelompok besar: sebagian cenderung kepada ”yang indah”, sebagian lain condong kepada ”yang sublim”. Yang jelas, bahkan lama setelah Kant, ihwal ”yang sublim” rupanya tak kunjung sirna. Dekonstruksi, misalnya, dengan ”gerak bebas penanda” yang menggulirkan kemungkinan tafsir yang tiada habisnya, juga mengilaskan ”yang sublim” di setiap momennya momen yang tak tertentu dan sekaligus menawarkan yang tak terhingga itu. (3474)

Sumber: Kompas, Minggu, 05 Februari 2006

Jumat, 04 Mei 2012

Fanatisme dan Keseragaman dalam Puisi - Edy A. Effendi



NIRWAN Dewanto, seorang esais, dalam diskusi terbatas, di Warung Tenda Biru, Jalan Braga, Bandung, melihat ada gejala dalam proses penciptaan puisi dalam dasawarsa terakhir, yang ditandai semangat fanatisme dan keseragaman di sebagian penyair Indonesia. Tampaknya, lemparan pikiran Nirwan perihal sikap fanatisme itu, lahir dari semangat untuk memperkukuh proses penciptaan yang bersandar dari wilayah geografis semata, dan “penuhanan” terhadap “sosok guru” --figur yang dituakan-- hingga napas kesadaran yang diemban, cenderung dibingkai oleh konvensi-konvensi lama dalam hal penulisan puisi, terutama dalam pemilihan kata dan gaya yang ditularkan dalam teks puisi. Semangat semacam inilah, yang kemudian, memberikan stigma keseragaman dalam puisi-puisi yang diciptakan sebagian penyair. Dan pada akhirnya, puisi yang tercipta, hanya bersandar pada kemampuan memainkan irama kata, dan teknik penulisan yang “dicanggihkan”.

Gejala fanatisme dan keseragaman, salah satunya, akibat tergang-gunya wilayah reproduksi puisi; satu proses yang menjaga kontuinitas tradisi penulisan puisi dan koherensi pengetahuan praktis sehari-hari dalam wilayah kata. Dalam konteks ini, terganggunya wilayah reproduksi puisi itu meng-akibatkan krisis penciptaan dalam bentuk hilangnya makna puisi, dan krisis gagasan-gagasan sosial dalam bentuk kepribadian sang penyair itu sendiri, dalam bentuk krisis orientasi penulisan puisi.

Maka, ketika proses penciptaan puisi yang dikerjakan oleh sebagian penyair, terjebak pada dataran terganggunya wilayah reproduksi puisi, kreativitas dalam proses penciptaan tidak lagi menjadi tolok ukur, apakah puisis yang diciptakan, sebagai sarana representasi dari bentuk kreatif sang penyair, atau sekadar kemampuan penyair mengakomodir kata-kata yang dituangkan dalam bentuk puisi? Ketidakjelasan dalam proses penciptaan puisi sebagai akibat terganggunya wilayah reproduksi puisi ini, mau tidak mau, memaksa puisi kehilangan karakter dasarnya. Setiap puisi, seperti yang pernah disinyalir Goenawan Mohamad, adalah roh (katakanlah “inspirasi”) yang hidup dan bergerak dalam “badan” (dalam hal ini sejumlah kata-kata); sang roh senantiasan cenderung mengatasi batasan kata untuk “karena kata tak cukup buat berkata”.

Realitas ini, semangat fanatisme dan keseragaman itu, dalam batas-batas tertentu, ikut serta menemani perjalanan para penyair Indonesia, sejak Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Umbu Landu Paranggi, Sutardji Calzoum Bachri sampai generasi Afrizal Malna. Hanya saja, semangat fanatisme dan keseragaman dalam proses kreatif mereka, tidak terjebak pada pola penulisan puisi yang dekaden, tanpa mempertimbangkan basis kreatif yang mereka miliki.

Para penyair yang memasuki proses kreatif pada babakan 1980-an, dan salah satunya diprakarsai Afrizal Malna, telah ikut serta menanamkan benih fanatisme dan keseragaman dalam proses penciptaan puisi. Pena-naman benih fanatisme dan keseragaman, secara tidak sadar, telah ikut mempola “ideologi baru” dalam penulisan puisi. Satu cara penulisan yang didominasi semangat kesemarakan, untuk menumbuhkan gairah kepenyairan Indonesia, tanpa dibekali tradisi penulisan yang berkiblat pada pola estetika yang jelas dan memberikan wacana baru bagi perkembangan puisi.

“Ideologi baru” dalam medan komunikasi puisi, serta merta tidak bisa menghindar dari cara berpikir yang dibingkai napas fanatisme dan ke-seragaman. Akibatnya, bias yang dilahirkan dari tradisi semacam ini, hanyalah melahirkan letupan-letupan kecil dalam tradisi penulisan puisi. Proses sosialisasi “ideologi baru” yang diterapkan para penanam fanatisme dan keseragaman ini, coba menawarkan satu rekayasa bahasa dalam penulisan puisi; dengan memasukkan idiom-idiom baru, sebagai salah satu karakter dalam puisi-puisi yang dilahirkan. Rekayasa bahasa, dalam batasan yang wajar, adalah sah dan dibenarkan dalam tradisi penulisan puisi. Apalagi, klaim yang sering beredar para penyair adalah penghuni jagat kata, yang meyakini bahasa mengandung makna berlimpah-limpah. Tetapi di sisi lain, akibat dari gajala fanatisme dan keseragaman, dan rekayasa bahasa yang digerakkan sebagian penyair, karena penyair merasa terancam oleh ke-miskinan bahasa Indonesia. Di sinilah salah satu paradoks puisi Indonesia: dalam upaya untuk menjadi ekspresi verbal yang otentik, ia tidak sepe-nuhnya mewujudkan diri sebagai “tidak verbal”, seperti diungkapkan Goenawan Mohamad.

Sebuah ideologi seharusnya dibangun sebagai sarana untuk memproduksi makna-makna dan gagasan-gagasan. Sebuah reproduksi makna dan gagasan yang dibingka kemauan untuk mengubah kondisi yang stagnan. Pikiran ini sejalan dengan apa yang pernah dikembangkan Louis Althusser dan Raymond William, dalam menerapkan wajah ideologi sebagai sebuah gerakan alternatif. Bagi Althusser dan William, “ideologi”, adalah satu praktik memproduksi ungkapan tertentu, memproduksi makna-makna tertentu (lewat media bahasa), yang mengharuskan subjek-subjek tertentu sebagai penyokongnya, sebagai pengguna bahasa.

Dalam perspektif ini, para penyair sebagai pengguna bahasa, mau tidak mau, didesak membongkar penulisan puisi, agar puisi yang disebar memiliki karakter estetika yang bersandar pada logika-logika penulisan yang jelas dan lebih memanusiawikan bahasa sebagai sarana kerja yang lebih kualitatif. Sehingga sindiran yang sering ditujukan kepada “kubu” penyair, bahwa puisi Indonesia yang ditulis para penyair yang kehilangan bahasa ibunya selama-lamanya --para penyair yang akhirnya gagap dalam bahasa apa pun-- harus bergulat dalam bahasa yang terancam kemiskinan, dapat ditepis dengan semangat membongkar hutan belantara bahasa, sehingga puisi tidak terdesak dalam lingkaran yang sempit. Lingkaran yang dibuai oleh napas fanatsime dan keseragaman.

Isu perihal ideologi baru, yang pernah diapungkan sebagian penyair dan kritikus, menjadi tidak relevan untuk dikembangkan sebagai satau sarana transformasi gagasan dalam wilayah sastra. Sebab “ideologi baru” seringkali dijadikan medium komunikasi yang telah terdistorsi, untuk memper-tegas bahwa puisi yang disuguhkan ke wilayah pembaca, memiliki kebebasan baru dalam praktik penulisan puisi. Akhirnya jika kita menengok apa yang pernah dikatakan Habermas, komunikasi ideologi itu-lah yang perlu disembuhkan lewat dialog-dialog emansipatoris yang menghasilkan insight dan pencerahan dalam diri subjek-subjek yang berkomunikasi.

Sumber: Kompas, 9 Maret 1997

Rabu, 11 Januari 2012

Wawancara - Asrul Sani: "Angkatan 45 Membebaskan Bahasa Indonesia"

Majalah Tempo, 8 NOVEMBER 1999
images.mitrasites.com

TIDAK mudah menampilkan sosok Asrul Sani, penyair, sutradara, dan penulis skenario yang oleh orang film kini dianggap legenda. Asrul juga dokter hewan lulusan Institut Pertanian Bogor dan pernah menjadi anggota DPR selama tiga masa jabatan. Pengetahuannya sebagai dokter hewan hampir tidak dipraktekkan. Namun, selaku sastrawan dan seniman film, Asrul Sani tak pernah berhenti berkarya. Selain dikenal sebagai penyair Angkatan 45, dia juga menulis cerita pendek, esai, serta skenario film dan televisi. Anehnya, Asrul menyebut dirinya amatir dalam bidang-bidang ini. Sebab, "Seorang amatir melakukan sesuatu karena kesenangan."

Asrul Sani memenangi piala Golden Harvest dalam Festival Film Asia 1970 untuk filmnya Apa yang Kaucari, Palupi. Sejak filmnya yang pertama, Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959), disusul Pagar Kawat Berduri (1961), hampir ke-20 film yang disutradarainya mengangkat tema dengan muatan sosial politik yang pekat. Demikian juga cerita dan skenario film yang digubahnya—dua yang terakhir berupa komedi populer, yakni Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985) dan Naga Bonar (1986). Dari tangannya juga bermunculan film televisi yang memikat—yang acap ditayangulangkan adalahMahkamah. Beberapa di antaranya bahkan diputar di Malaysia dan Singapura.

Istrinya, Mutiara Sani, ikut membintangi film layar lebar dan film televisi arahannya. Respons dari penonton cukup mendukung masa itu, terutama ketika serial televisi Siti Nurbaya—dengan skenario dari Asrul Sani yang dibuat berdasarkan novel klasik karya Marah Roesli—ditayangkan, jauh sebelum televisi Indonesia dilanda banjir sinetron. Ironisnya, Asrul, yang banyak dilibatkan dalam upaya menumbuhkan perfilman nasional, justru menyaksikan kehancuran film Indonesia itu sendiri. Menurut Asrul, penghancuran itu dengan sukses dilakukan Harmoko selama 15 tahun "berkuasa" sebagai menteri penerangan.

Asrul Sani, yang tak tertandingi di arena debat, menjadi anggota DPR selama 16 tahun. Ia sempat dicap sebagai "pemberontak" karena acap melancarkan kritik terhadap pemerintah. Katanya, aura demokrasi sudah menguap dari parlemen kita sejak 1971.

Bersama-sama Chairil Anwar dan Rivai Apin, Asrul Sani dikenal sebagai pelopor Angkatan 45 (ketiganya terwakili dalam kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir). Tonggak mereka adalah Surat Kepercayaan Gelanggang, 18 Februari 1950, sebuah manifesto yang ditulis Asrul dan mencuatkan "konsepsi budaya" Angkatan 45. Dokumen ini diterbitkan pada 23 Oktober 1950, setahun setelah Chairil meninggal.

Asrul, ayah enam anak, kelahiran Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1927, adalah bungsu dari tiga bersaudara, anak pemuka adat Sultan Marah Sani Syair Alamsyah. Ditemui di kediamannya awal Oktober lalu, Asrul, yang rambut dan berewoknya telah bersepuh perak, tampak sehat dan bugar. Ingatannya jernih dan mendetail, bahkan tentang banyak hal sepanjang usianya yang sudah 72 tahun itu. Wartawan TEMPO Dwi Arjanto dan Hermien Y. Kleden tiga kali menemuinya di rumahnya, di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan.

Petikannya:

Apa yang ada di benak Anda sewaktu menyusun Surat Kepercayaan Gelanggang?
Terus terang, ada satu kesombongan. Kami merasa tidak perlu dibatasi dengan kebanggaan tentang Borobudur atau Shakespeare, misalnya. Apa yang ada di dunia adalah milik kita semua. Dan itu yang menjadi kenyataan.

Mengapa harus sombong?

Setiap pemuda itu sombong, tidak bisa tidak. Dia tidak akan maju kalau tidak arogan. Dia harus bisa separuh sinting memandang keyakinannya. Kalau tidak, dia juga tidak akan bisa berdemonstrasi. Sebagaimana umumnya gerakan avant garde, Angkatan 45 hanya berjalan di depan—sampai suatu saat ada orang lain yang lebih jeli yang memanfaatkan keuntungan. Angkatan 45 tidak punya waktu. Dia berlari terlalu cepat untuk mengejar apa yang diinginkan.

Apa saja yang dilakukan Angkatan 45 dengan semangat avant garde-nya?

Mereka membuka horizon-horizon baru, yang semestinya dilanjutkan. Sayang, generasi berikutnya tidak mendapat kesempatan menumbuhkan hal itu dengan caranya sendiri.

Apakah pertumbuhan itu berhenti?

Tidak berhenti. Sebab, bagaimanapun, ada yang muncul. Di Taman Ismail Marzuki, semasa Orde Baru, tetap saja ada ceramah. Tapi, yang bertanya, pengetahuannya sangat kurang. Kebebasan untuk mendapatkan buku bermutu amat terbatas. Yang paling fatal adalah sikap meniadakan polemik, meniadakan pertukaran pikiran. Sekarang, pertukaran pikiran itu berkembang kembali kendati orang masih ragu-ragu menggunakan bahasa setajam mungkin.

Bagaimana pergulatan antarkomponen inti Angkatan 45?

Yang menyatukan adalah kesamaan tanggapan terhadap penggunaan bahasa Pujangga Baru: kita menganggap bahasa Pujangga Baru tidak mengutarakan apa yang ingin diutarakan, tapi lebih mementingkan penyesuaian diri dengan kaidah-kaidah tata bahasa.

Menarik bahwa pengarang Angkatan 45, yang rata-rata anak priayi pegawai negeri, "memberontak" terhadap bahasa Pujangga Baru, yang mencerminkan kehalusan berbahasa kaum priayi.

Benar bahwa pengarang Angkatan 45 itu semuanya anak pegawai negeri. Tapi, anehnya, sudah lepas penghormatan kita terhadap priayi. Kita berpendapat, kelompok paling lemah waktu itu adalah pegawai negeri. Nilai intrinsik dalam Surat Kepercayaan Gelanggang adalah bahwa kita mencari manusia yang sudah dilepaskan dari bajunya. Kita menentang pendapat bahwa budaya kita hanya dibuat oleh bangsa kita.

Memangnya ada yang salah dari anggapan yang berkembang sebelum itu, yakni bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Timur dan merupakan kumpulan dari puncak kebudayaan daerah?

Kebudayaan lahir seperti air yang mengalir. Kita boleh saja mengatakan menjunjung nasionalisme dengan menetapkan suatu pakaian yang "asli" Indonesia. Bukan itu yang ada dalam kenyataan. Kita tidak lagi berjalan dengan langkah-langkah kecil karena memakai kain kebaya, tapi bisa leluasa dengan celana blue jeans. Itu yang tampak dalam novel Saman. Masalahnya, pakaian baru ini akan diapakan? Kita jangan munafik mengatakan cinta pakaian nasional tapi tidak pernah memakainya. Apalagi baju nasional ternyata lebih mahal dari pakaian biasa.

Angkatan 45 sering disebut sebagai pembaharu pertama dalam khazanah sastra kita. Apa sebenarnya yang akan mereka capai?

Suatu angkatan mencari kebenarannya sendiri dalam situasi tersendiri dari zaman yang berlangsung.

Dan zaman kepada siapa Angkatan 45 terikat adalah revolusi.

Benar. Dalam film, misalnya, Usmar Ismail (pelopor perfilman Indonesia) mengatakan tujuannya adalah membawa revolusi ke layar putih. Dalam bidang kesenian, yang dikaji adalah keunikan manusia, yang amat perlu membuat kita lebih manusiawi.

Dalam pengertian yang bagaimana?

Menghargai pendapat orang lain. Suatu bangsa yang tradisi kesusastraannya tinggi dapat menghargai perbedaan pendapat. Kesusastraan membuat kita lebih manusiawi. Dengan membaca sastra, kita mengadakan dialog dengan diri sendiri. Demokrasi, hak asasi manusia, martabat manusia itu tidak bisa kalau tidak ada contohnya. Dan kesusastraan membawa pencerahan (enlightenment).

Kata-kata Anda mengingatkan pada apa yang ditulis Sjahrir di Penjara Glodok dalam bukunya,Renungan Indonesia: "Bagaimana kita bicara tentang manusia sedangkan kita tidak membaca novel?"

Lo, waktu itu, pelajar Indonesia memang malu membaca novel. Jangankan itu, bahkan Bung Hatta pun malu. Ketika di antara tumpukan bukunya ditemukan novel, Bung Hatta tidak mengaku kalau dia yang membelinya. Membaca novel pada masa itu dianggap membuang-buang waktu.

Bagaimana frame besar Angkatan 45 sebagai sebuah generasi kesusastraan?

Media yang dipergunakan tidak lagi berhasil mengutarakan apa yang ingin diutarakan. Kalau sekiranya zaman itu menjadi zaman yang sangat cepat, cara pengutaraan yang lambat tidak bakal dipakai lagi. Ada konflik dengan Takdir Alisjahbana di masa itu—sebuah konflik yang lebih banyak hubungannya dengan realitas sebagai sumber bahasa dan sumber penafsiran. Makanya, Angkatan 45 disebut angkatan pembaharu, yang sebelumnya telah dirintis Armijn Pane lewat novel Belenggu.

Armijn Pane merintis pembaruan sebuah angkatan lewat Belenggu, tapi tampaknya ia gagal melukiskan realitas masyarakat. Roman ini, yang bermain di Sawahbesar dan Tanjungpriok, tidak memberikan gambaran Jakarta pada waktu itu.

Ini memang masalah pengarang Indonesia. Realitas adalah sesuatu yang dia rekayasa saja, tidak ada hubungannya dengan sejarah. Begitu pula karya-karya memoar pengarang Indonesia. Memoar Jenderal Nasution, misalnya, hanya sedikit memberikan gambaran utuh, kendati ada beberapa bagian di buku itu yang menceritakan lingkungannya. Itu berbeda, misalnya, dengan memoar Laksamana Maeda yang dia tulis setelah Kaisar Jepang mengumumkan penyerahan Jepang kepada Sekutu.

Apa yang ditulis Maeda?

Ia tidak bercerita tentang kegundahan hatinya atas keputusan Tenno Heika. Dia kembali ke kantornya, duduk dekat jendela, menghadap ke jalan. Di situ ada pohon flamboyan. Lalu, ia menulis, "Pohon flamboyan sudah mulai berbunga, tanda musim hujan sudah mulai datang." Maeda menuliskan realitas hati manusia yang berada pada titik nadir—tanpa perlu menyebut soal penyerahan Jepang kepada Sekutu yang begitu menggundahkan hatinya.

Dan soal realitas pula yang membuat Rivai Apin (Angkatan 45) mengejek-ejek Sutan Takdir Alisjahbana atau STA (Pujangga Baru) bahwa STA terlalu banyak retorika dan bahasa berbunganya.

Pujangga Baru memang tidak efektif dalam penggunaan bahasa. Angkatan 45 lalu memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari kungkungan, baik oleh Pujangga Baru maupun sebelumnya. Dua orang yang sangat penting dalam membebaskan bahasa Indonesia menjadi alat pengutaraan pribadi adalah Chairil Anwar dan Bung Karno. Sukarno itu sangat tidak puas dengan bahasa Indonesia. Kita bisa membaca bahasanya yang hidup dalam bukunya Sarinah.

Masa? Bukankah buku itu ditulis dengan bahasa Indonesia yang baku?

Itu edisi yang telah direvisi. Anda harus membaca Sarinah edisi asli, yang diterbitkan pertama kali. Setelah Bung Karno menjadi presiden, buku itu kembali diterbitkan, tapi bahasanya diperbaiki sesuai dengan bahasa Indonesia yang baku, sehingga keasliannya hilang. Padahal, versi asli bahasanya sangat hidup, misalnya istilah "ahli fikir" dia tulis "macam-macam fikir". Konkret sekali.

Bagaimana kedekatan Anda dengan Bung Karno?

Suatu ketika, saya menemui Bung Karno tatkala saya mau membuat film Tauhid di Mekah. Dia bertanya, "Pernahkah kamu membaca buku Tolstoy—sastrawan besar Rusia—tentang dua orang suami-istri? Pada suatu malam, keduanya hanya punya sepotong roti. Lalu, datang seseorang yang kelaparan. Suami-istri itu berunding, lalu memutuskan untuk memberikan roti itu kepada si orang lapar. Itu agama. Apa kamu menggambarkan hal seperti ini?" Lain dengan Sjahrir. Dia memberikan buku Roti dan Anggur, lalu saya disuruh menyusun arti sosialisme sendiri.

Benarkah generasi pertama kita yang memimpin Indonesia memang punya rasa kebudayaan (sense of culture) yang tinggi?
Benar. Suatu ketika, pada 1963, Bung Karno berkata kepada Roeslan Abdoelgani, "Roes, selama kamu tidak mengerti kebudayaan, kamu tidak akan mengerti politik." Dan mereka banyak sekali membaca. Sekali waktu, Bung Karno memberi saya satu buku yang dia kagumi, memoar Alexander Herzen, seorang revolusioner Rusia yang romantik. Katanya, "Kau saja yang baca karena toh enggak ada yang bakal baca buku ini."

Kembali ke soal Angkatan 45. Bagaimana awal perkenalan dengan Chairil Anwar, salah seorang karib Anda itu?

Saya ketemu Chairil pertama kali di Senen, sewaktu dia sedang berada di toko buku bekas. Sesudah Belanda jatuh, kan, mereka bisa melego buku-buku dengan harga murah. Chairil itu suka bermacam-macam buku. Dia seorang otodidak. Pendidikannya hanya SMP zaman Belanda, tapi dia bisa berbahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. Pergaulan para sastrawan pada masa itu tergolong terbatas. Saya juga berkenalan dengan Usmar Ismail di Pusat Kebudayaan. Saya ke sana karena senang mendengarkan musik dan akhirnya berkenalan dengan Cornel Simanjuntak. Dia (Chairil) juga sangat blakblakan, termasuk blakblakan mengkritik, sehingga pernah dia berkelahi dengan H.B. Jassin karena hal itu.

Bukankah pertengkaran itu terjadi pada suatu acara pembacaan sajak di Gedung Kesenian Jakarta pada 1943?
Ya. Waktu itu kami datang sebelum pertunjukan. Chairil marah kepada Jassin karena ia menulis puisi yang tidak disukai Chairil. Padahal, H.B. Jassin suka senewen, apalagi kalau di depan orang banyak. Dia sedang asyik menghafal teks ketika tiba-tiba Chairil menyerangnya dengan kata-kata bahwa Jassin tidak mengerti puisi dan segala macam. Langsung saja Jassin menempeleng Chairil. Saya bisa memahami kejadian itu. Jassin bukannya tidak mengerti sifat Chairil yang blakblakan, tapi dia sendiri sedang menghadapi suasana grogi. Saya cuma bilang kepada Chairil, "Buat apa kau lawan si Jassin itu? Badannya saja lebih besar dari kau."

Bagaimana persahabatan Anda, Rivai, dan Chairil?

Kami bertiga punya perjanjian tidak akan pernah saling tipu. Suatu saat, dia (Chairil) meminjam mesin tik dari saya. Beberapa lama kemudian, dia datang subuh-subuh ke rumah saya. Katanya, "Kita sudah berjanji tidak akan saling tipu, kan?" Saya mengiyakan. Lalu, dia bilang, "Mesin tiknya telah saya jual." Dia tidak bekerja apa-apa. Tiap hari ya ke Senen itu, baca buku. Dan buku apa saja yang dia pinjam dari kawannya ya dijual. Barang apa saja yang dia pinjam dari temannya dijual. Dan itu tanpa rasa bersalah. Chairil adalah orang yang hidup 100 persen dari puisi. Akibatnya? Keluarganya harus ikut menanggung gaya hidupnya yang seperti ini.

Misalnya?

Anaknya, yang semata wayang, tidak mengenalnya. Padahal, Chairil sangat mencintai anak itu. Anak itu pernah dia "culik" dari istrinya, tapi dikembalikannya setelah dibujuk-bujuk. Kalau dia sudah tidak pulang tiga hari, saya sering diajak ke rumahnya untuk jadi tameng. "Istriku punya ikan. Kau bisa digorengkan ikan." Dia betul-betul takut kepada istrinya, lebih-lebih kalau wanita ini sudah berkacak pinggang. Badannya yang besar itu benar-benar menakutkan buat Chairil, yang berbadan kecil dan kurus.

Sebagai teman yang begitu dekat, mengapa Anda tidak ikut mengantarkan dia ke pusara saat ia meninggal pada 1949?

Dia meninggal saat saya sedang di Bogor. Saya baru tahu peristiwa itu dua hari setelah ia dimakamkan. Dia meninggal tepat pada waktunya. Kalau dia hidup, barangkali dia sekarang berada di penjara karena berkali-kali menipu. Dia juga meninggal pada saat puncaknya sebagai penyair. Puisinya sudah selesai dan puncak keindahan itu bisa tersimpan selamanya.

Sajak Chairil yang terakhir adalah Derai-Derai Cemara. Di antaranya, dia menulis, "Hidup hanya menunda kekalahan...." Apakah ini juga gambaran dia "selesai" sebagai penyair?

Dia tidak kehilangan kreativitas menjelang meninggal pada 1949 itu. Tapi, sebagai penyair, dia sudah selesai. Dari omongan dan tulisannya menjelang akhir hayatnya, dia seorang esais yang baik—kendati dia belum jadi esais. Kami bertiga sempat berbicara lama. Waklu itu, Rivai sempat bilang kepadanya, "Lebih baik kau mengalah karena tak ada lagi yang dipertahankan dengan cara apa pun. Mulailah kembali dengan bentuk lain."

Setelah Chairil meninggal, pertentangan apa yang membuat Anda juga berpisah dengan Rivai Apin?

Rivai itu tidak pernah berubah. Pada 1960-an, ada kutub politik komunis dan antikomunis. Yang "di tengah" itu tidak ada. Saya bilang ke Rivai agar pergi ke Eropa. Prof. Berlin, Ketua Bagian Kebudayaan di Kedutaan Besar Belanda, mengusahakan agar Rivai bisa pergi ke Belanda. Tapi, informasi yang beredar di sana, dia bergaul dengan orang-orang kiri. Akibatnya, ia tidak mendapat izin masuk Belanda.

Toh, dia ke Eropa juga setelah mendapat undangan pergi ke Berlin Timur?

Ya, dia pergi ke sana dan, sesudah itu, tertutuplah dia dengan dunia Barat. Bersamaan dengan itu, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mulai aktif menawarkan bermacam-macam kedudukan, termasuk mengusulkan Rivai Apin menjadi anggota DPRD Jakarta Fraksi PKI. Tapi, bagaimanapun, Rivai tidak pernah berubah.

Maksud Anda?

Dia hampir tidak pernah menulis sewaktu memimpin Zaman Baru (majalah kebudayaan Lekra). Dan dia tidak mau melarikan diri setelah peristiwa G30S karena menganggap itulah konsekuensi dari pilihan berpolitik. Dia mengalami suatu situasi di mana dia sudah akan disingkirkan. Saya mencari dia setelah itu. Dia menunjukkan sajak-sajaknya. Saya mengerti kenapa kalangan komunis tidak bisa menerima sajak-sajaknya.

Pindah ke awal 1960-an. Saat itu, iklim politik kebudayaan diwarnai beberapa polarisasi, antara lain Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia, yang didirikan Asrul Sani dan Djamaludin Malik, yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama). Bagaimana Lesbumi memosisikan diri waktu itu dalam polemik kebudayaan, misalnya?

Politik mulai masuk kebudayaan setelah kehidupan politik macet total, yaitu setelah presiden menjadi presiden seumur hidup dan pemimpin besar revolusi. Di situlah Lekra mulai agresif. Waktu itu, kita mengharap Sitor Situmorang, yang memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), bisa menghadapi Lekra. Nyatanya tidak. Sitor adalah penyair yang hebat tapi seorang politikus picisan. Karena terlalu kenes, dia mudah sekali dimainkan Lekra. Sesudah LKN makin jauh, mulai kita rasakan perlunya lembaga lain.

Tapi bukankah waktu itu Nahdlatul Ulama (NU) sama sekali tidak mau campur soal kebudayaan?

Memang. Tapi kalangan NU kaget setelah Lekra membuat suatu pertunjukan di Pekalongan berjudul Haji Tuan Tanah—sekitar 1964-1965. Mereka mulai menerima bahwa suatu kesenian tidak bisa diabaikan begitu saja. Sesudah itu, keterlibatan golongan pesantren dalam kesenian makin besar. Lesbumi tadinya dibentuk untuk kepentingan politik. Tapi belakangan, setelah keadaan berubah, yang menonjol adalah aspek kebudayaan.

Apa yang Anda rasakan dalam ingar-bingar polarisasi tersebut?

Teror. Itu betul-betul teror. Saat bangun tidur pagi, yang pertama kita baca di koran adalah teror dari pihak mereka, pelarangan, pemecatan. Saya bukan pegawai negeri sehingga tidak bisa dipecat. Tapi Taufiq Ismail, yang pegawai negeri, sangat terpukul dengan pemecatannya sebagai pegawai negeri.

Anda memang bukan pegawai negeri di zaman Sukarno. Tapi Anda menjadi anggota parlemen selama 16 tahun dalam masa Orde Baru. Mengapa bertahan di Senayan hingga 1982, padahal Anda menyebut demokrasi sudah berakhir pada 1971?

Ada semacam solidaritas—jadi bukan karena alasan pragmatis. Terus terang, saya tidak banyak dipengaruhi suasana. Pada 1971, saya masuk Fraksi NU—sebuah sayap yang bisa disebut idealis, yang masih bisa menegakkan semacam kontrol. Pada 1982, saya keluar dari Senayan. Saat itu, semua sarana untuk mengembangkan pemikiran dibunuh—karena dianggap sebagai polemik. Lalu, semuanya bergulir seperti yang sudah kita saksikan: selama 32 tahun, tidak ada pemikiran baru. Tidak ada pemimpin masyarakat yang bisa tumbuh tanpa legalisasi kekuatan militer.

Omong-omong, apa pernah berpraktek sebagai dokter hewan?

Sewaktu berpraktek di kampus dulu. Setelah itu, tidak lagi. Di kampus, saya belajar berpikir sistematis. Itulah keuntungannya. Saya menganggap pendidikan adalah pendidikan pribadi. Saya tidak bisa menjual apa yang ada di diktat. Tapi saya bisa menjual apa yang bisa saya olah sendiri.

PARALOGI: SATU RESIDU YANG TERSISA - Edy A. Effendi


twitter.com
Kenyataan sastra hari ini, mau tak mau, harus dilihat dan dipandang dalam prinsip-prinsip paralogi. Satu prinsip atau kaidah yang mendedahkan keberagaman realitas, unsur-unsur, dan ruang permainan dengan logikanya masing-masing, tanpa harus saling menindas atau mengerangkeng satu dengan yang lain.

Para cerdik pandai melihat realitas ini, ibarat permainan catur. Setiap bidak memiliki rule of game dan kehendak sendiri tanpa harus saling menindas bidak-bidak lain. Dalam paralogi, imajinasi merupakan kekuatan atau daya yang penting.

Paralogi tidak dibangun atas dasar kesepakatan melalui proses yang berkesinambungan dengan aturan main yang ada, melainkan melalui apa yang disebut Jean Francois Lyotard sebagai dissensus yang tidak selalu berkesinambungan. Paralogi juga tidak dibangun sepenuhnya atas penemuan-penemuan baru, melainkan berupa kemampuan menggunakan apa yang sudah ada, sudah tersedia dengan cara-cara baru.

Tentu saja, niatan melihat dan memandang sastra dalam bingkai kaidah paralogi ini berangkat dari lahirnya beragam produk sastra dewasa ini yang menyodorkan berbagai bentuk kreatif dengan cara tutur yang berbeda, dengan konvensi yang berbeda dan dengan gairah kreativitas yang menyebar ke segala arah.

Realitas kreatif

Pada tataran ini, Susan Sontag, kritikus seni, melihat lahirnya beragam realitas kreatif merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru: sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa harus membusungkan dada untuk selalu berada dalam garda depan atau menaklukkan realitas lain.

Pikiran Susan Sontag soal sensibilitas baru itu sejatinya sebagai cara merayakan dan merespons hadirnya kemajuan teknologi sekaligus meruntuhkan prinsip-prinsip kesatuan ontologis yang sudah tak relevan lagi dalam traktat konstelasi penciptaan dewasa ini. Sebuah cara yang memberi kabar bahwa kekuasaan telah terbagi-bagi dan tersebar ke berbagai arah, ke berbagai ruang dan membuka pintu demokratisasi teknologi.

Dalam lajur pikiran seperti ini, tentu saja didorong cara kerja Lyotard, bahwa dalam dunia yang sangat dipengaruhi kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Lebih jauh filsuf Perancis itu bergumam bahwa prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner, subyek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya narasi-narasi agung itu, telah kehilangan legitimasinya. Kisah-kisah agung modernisme itu hanyalah topeng yang bopeng, mistifikasi yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif, dan hanya menghuni ruang-ruang semu.

Maka, tak perlu memaksakan kehendak agar karya-karya sastra Indonesia melirik atau menaruh subyek uang dalam ruang-ruang kreatif. Apalagi seorang Bandung Mawardi berkeluh kesah dalam Uang, Modernitas dan Tafsir Sastra, (Kompas, 7/3) bahwa ”kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra. Uang tentu jadi perkara besar dalam biografi manusia-manusia Indonesia ketika dengan gairah atau gerah tumbuh dalam arus dan alur modernitas pada abad XX.”

Memang, jika kita mengikuti jejak pikiran yang ditebar Jean Baudrillard, kebudayaan dewasa ini adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang menempati peran penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang tak sekadar alat-tukar, lebih dari itu merupakan simbol, tanda, dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. Kebudayaan masa kini adalah sebuah dunia simulasi, dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra, dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan saling berkelindan.

Persoalan sastra hari ini bukan sekadar urusan tema, apalagi menganggap kesanggupan untuk menggarap tema uang mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra. Bukankah sebuah karya tidak saja didekati dari kerangka tema secara makro, tetapi seharusnya dikaji lebih subtil, detail, dan terstruktur ’darah daging’ karya itu sendiri? Tentu saja, tema seharusnya dibangun sebagai sarana untuk memproduksi makna-makna dan gagasan-gagasan dalam sebuah karya.

Salah baca

Kehendak Bandung soal tema uang ternyata disalahpahami Binhad Nurrohmat dalam Mata Sastra Tak Melirik Mata Uang? (Kompas, 14/3). Mawardi menginginkan tema uang menjadi isu sentral dalam sebuah penceritaan karya. Tema tak sekadar tempelan atau sampiran sebuah cerita. Tetapi, tema menjadi bagian integral dalam cerita itu sendiri. Tengoklah pikiran Mawardi yang mencoba menyisir soal perlunya tema dalam karya sastra. Ia melihat penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern.

Menjadi sebuah dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia, tentu tak sekadar mengusung tema uang menjadi subordinat dalam penggarapan sebuah kisah. Di sinilah letak kekeliruan Nurrohmat mengambil dua contoh kasus isu uang dari dua contoh yang ia pungut. Novel Telegram (1972) Putu Wijaya dan Pasar (1995) Kuntowijoyo yang dijadikan contoh kuasa uang Nurrohmat, bukan menjadikan tema uang sebagai pijakan dasar dalam cerita. Telegram, yang menjadi pemenang lomba menulis roman Panitia Tahun Buku Internasional 1972, dianggap novel yang berhasil meletakkan corak baru dalam wajah sastra Indonesia pada waktu itu.

Boen S Oemarjati membaca Telegram semacam collage beraneka ragam peristiwa sebagaimana termaktub dalam mata pikiran dan si penerima telegram. Atau A Teeuw mengungkap novel Telegram cukup berhasil membongkar berbagai pernik persoalan hidup manusia: paradoks manusia modern dalam keterasingan hidup.

Demikian juga dalam novel Pasar. Uang bukan menjadi tema sentral dalam pengisahan karena sejatinya dua tokoh utama, Pak Mantri Pasar dan Kasan Ngali, representasi nilai halus-kasar, pengejawantahan dari dua kultur manusia yang berbeda latar belakang. Pasar mengusung tema besar soal harmoni dan disharmoni dalam kehidupan publik.

Tindakan tafsir sastra, membutuhkan peranti konseptual yang lebih argumentatif, tak sekadar mencuplik petikan sebuah teks tanpa bergulat dengan teks itu sendiri. Hal ini disebabkan bahasa dalam sastra, mau tak mau, mengawinkan proyek imajinasi dengan realitas keseharian. Proyek perkawinan antara imajinasi dan realitas keseharian dalam kutub sastra inilah yang sering kali meramaikan pertikaian pemikiran sastra ke dalam ruang-ruang publik. Sastra dewasa ini sudah seharusnya dilihat dan dipandang dengan prinsip-prinsip paralogi. Catatan ini sekadar bahan tambahan bagi Mawardi dan pelajaran tambahan bagi mahasiswa baru: Binhad Nurrohmat.

Edy A Effendi, Penyair, Pendiri Kampoeng Seni UIN, Jakarta, dan Pengelola Lab Jurnalistik MAN Cipondoh, Tangerang


sumber: Kompas, 21 Maret 2010

Selasa, 10 Januari 2012

IRAMA

Oleh: Hasif Amini

Puisi adalah rangkaian kata-kata yang berirama. Dan satuan irama dalam bahasa adalah metrum. Dengan demikian, terasa aneh tapi nyata: sepanjang sejarahnya sejak awal abad ke-20, puisi Indonesia seperti kurang berurusan—baik bekerja maupun bermain—dengan metrum.

Ini tampaknya berhubungan dengan watak bahasa Indonesia yang tidak memiliki suku kata bertekanan maupun tak bertekanan—unsur dasar pembentukan ritme/irama dalam bahasa. Contoh: dalam bahasa Inggris, kata listen diucapkan dengan tekanan pada suku kata pertama, sedangkan suku kata kedua tanpa tekanan; sementara kata deserve sebaliknya. Adapun kata dengar maupun berhak (selaku padanannya) dalam bahasa kita tak memiliki perincian demikian. Kita boleh memberi tekanan di depan, atau di belakang, atau memberi tekanan pada keduanya, atau tidak sama sekali.

Metrum—pola irama susunan kata—memang bukan sekadar perkara suku kata bertekanan dan tidak, yang menciptakan sepasang ”kaki” (atau lebih) yang ”berjalan” atau ”menari” sepanjang larik dan akhirnya sepanjang puisi. Pola vokal dan konsonan maupun panjang-pendek kata dan larik dalam sebuah puisi tentulah juga memegang peran membentuk irama. Namun, tak adanya unsur ”kaki yang berjalan naik-turun” secara teratur dalam sebuah puisi tetaplah sebuah cerita ketidakhadiran. Paling tidak, absennya ”kaki” yang melangkah berirama itu kerap membuat ihwal ritme/irama dalam puisi Indonesia menjadi agak misterius: kehadirannya bisa dirasakan, tapi tak mudah diuraikan.

Semakin tak mudah ketika puisi telah melepaskan diri dari bentuk-bentuk baku—pantun, talibun, soneta, dan seterusnya—menuju puisi bebas. Puisi bebas adalah puisi yang menghendaki penciptaan ritme tersendiri yang khas bagi setiap karya. Dalam khazanah sastra yang memiliki puisi bermetrum di latar belakang, puisi bebas melepaskan diri dari kerangkeng formula penulisan puisi, tetapi sekaligus telah dirasuki oleh ”hantu-hantu” metrum yang bergentayangan memainkan irama-irama tersembunyi. Dalam khazanah sastra yang tak dikuasai tradisi puisi bermetrum, irama puisi bebas barangkali datang sepenuhnya dari diri si penyair. Dan akhirnya, pencapaian khazanah itu pun bergantung pada kehadiran sejumlah jenius dari waktu ke waktu, yang memetik sejumlah bahan dari khazanah lain dan mengolahnya hingga menjadi milik sendiri.

Atau mungkin kita perlu melihatnya dari arah lain?
Ya, mungkin. Misalnya: bahwa setiap bahasa, dengan latar belakang dan riwayat yang beragam, akhirnya punya watak berbeda-beda dan menghidupi khazanah sastra yang berwatak tersendiri pula. Dengan demikian, takaran-takaran untuk menimbangnya pun jangan-jangan tak bisa disamakan dan mesti diciptakan sesuai keperluan. Mungkin akhirnya setiap karya bergerak dan mendenyutkan irama yang berlain-lainan: ada yang dengan kaki berjalan atau menari, ada yang bersayap dan terbang tinggi, ada yang bersirip dan menyelam dalam, dan seterusnya. Mungkin.

KOMPAS 1 Agusutus 2010