Jumat, 04 Mei 2012

Fanatisme dan Keseragaman dalam Puisi - Edy A. Effendi



NIRWAN Dewanto, seorang esais, dalam diskusi terbatas, di Warung Tenda Biru, Jalan Braga, Bandung, melihat ada gejala dalam proses penciptaan puisi dalam dasawarsa terakhir, yang ditandai semangat fanatisme dan keseragaman di sebagian penyair Indonesia. Tampaknya, lemparan pikiran Nirwan perihal sikap fanatisme itu, lahir dari semangat untuk memperkukuh proses penciptaan yang bersandar dari wilayah geografis semata, dan “penuhanan” terhadap “sosok guru” --figur yang dituakan-- hingga napas kesadaran yang diemban, cenderung dibingkai oleh konvensi-konvensi lama dalam hal penulisan puisi, terutama dalam pemilihan kata dan gaya yang ditularkan dalam teks puisi. Semangat semacam inilah, yang kemudian, memberikan stigma keseragaman dalam puisi-puisi yang diciptakan sebagian penyair. Dan pada akhirnya, puisi yang tercipta, hanya bersandar pada kemampuan memainkan irama kata, dan teknik penulisan yang “dicanggihkan”.

Gejala fanatisme dan keseragaman, salah satunya, akibat tergang-gunya wilayah reproduksi puisi; satu proses yang menjaga kontuinitas tradisi penulisan puisi dan koherensi pengetahuan praktis sehari-hari dalam wilayah kata. Dalam konteks ini, terganggunya wilayah reproduksi puisi itu meng-akibatkan krisis penciptaan dalam bentuk hilangnya makna puisi, dan krisis gagasan-gagasan sosial dalam bentuk kepribadian sang penyair itu sendiri, dalam bentuk krisis orientasi penulisan puisi.

Maka, ketika proses penciptaan puisi yang dikerjakan oleh sebagian penyair, terjebak pada dataran terganggunya wilayah reproduksi puisi, kreativitas dalam proses penciptaan tidak lagi menjadi tolok ukur, apakah puisis yang diciptakan, sebagai sarana representasi dari bentuk kreatif sang penyair, atau sekadar kemampuan penyair mengakomodir kata-kata yang dituangkan dalam bentuk puisi? Ketidakjelasan dalam proses penciptaan puisi sebagai akibat terganggunya wilayah reproduksi puisi ini, mau tidak mau, memaksa puisi kehilangan karakter dasarnya. Setiap puisi, seperti yang pernah disinyalir Goenawan Mohamad, adalah roh (katakanlah “inspirasi”) yang hidup dan bergerak dalam “badan” (dalam hal ini sejumlah kata-kata); sang roh senantiasan cenderung mengatasi batasan kata untuk “karena kata tak cukup buat berkata”.

Realitas ini, semangat fanatisme dan keseragaman itu, dalam batas-batas tertentu, ikut serta menemani perjalanan para penyair Indonesia, sejak Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Umbu Landu Paranggi, Sutardji Calzoum Bachri sampai generasi Afrizal Malna. Hanya saja, semangat fanatisme dan keseragaman dalam proses kreatif mereka, tidak terjebak pada pola penulisan puisi yang dekaden, tanpa mempertimbangkan basis kreatif yang mereka miliki.

Para penyair yang memasuki proses kreatif pada babakan 1980-an, dan salah satunya diprakarsai Afrizal Malna, telah ikut serta menanamkan benih fanatisme dan keseragaman dalam proses penciptaan puisi. Pena-naman benih fanatisme dan keseragaman, secara tidak sadar, telah ikut mempola “ideologi baru” dalam penulisan puisi. Satu cara penulisan yang didominasi semangat kesemarakan, untuk menumbuhkan gairah kepenyairan Indonesia, tanpa dibekali tradisi penulisan yang berkiblat pada pola estetika yang jelas dan memberikan wacana baru bagi perkembangan puisi.

“Ideologi baru” dalam medan komunikasi puisi, serta merta tidak bisa menghindar dari cara berpikir yang dibingkai napas fanatisme dan ke-seragaman. Akibatnya, bias yang dilahirkan dari tradisi semacam ini, hanyalah melahirkan letupan-letupan kecil dalam tradisi penulisan puisi. Proses sosialisasi “ideologi baru” yang diterapkan para penanam fanatisme dan keseragaman ini, coba menawarkan satu rekayasa bahasa dalam penulisan puisi; dengan memasukkan idiom-idiom baru, sebagai salah satu karakter dalam puisi-puisi yang dilahirkan. Rekayasa bahasa, dalam batasan yang wajar, adalah sah dan dibenarkan dalam tradisi penulisan puisi. Apalagi, klaim yang sering beredar para penyair adalah penghuni jagat kata, yang meyakini bahasa mengandung makna berlimpah-limpah. Tetapi di sisi lain, akibat dari gajala fanatisme dan keseragaman, dan rekayasa bahasa yang digerakkan sebagian penyair, karena penyair merasa terancam oleh ke-miskinan bahasa Indonesia. Di sinilah salah satu paradoks puisi Indonesia: dalam upaya untuk menjadi ekspresi verbal yang otentik, ia tidak sepe-nuhnya mewujudkan diri sebagai “tidak verbal”, seperti diungkapkan Goenawan Mohamad.

Sebuah ideologi seharusnya dibangun sebagai sarana untuk memproduksi makna-makna dan gagasan-gagasan. Sebuah reproduksi makna dan gagasan yang dibingka kemauan untuk mengubah kondisi yang stagnan. Pikiran ini sejalan dengan apa yang pernah dikembangkan Louis Althusser dan Raymond William, dalam menerapkan wajah ideologi sebagai sebuah gerakan alternatif. Bagi Althusser dan William, “ideologi”, adalah satu praktik memproduksi ungkapan tertentu, memproduksi makna-makna tertentu (lewat media bahasa), yang mengharuskan subjek-subjek tertentu sebagai penyokongnya, sebagai pengguna bahasa.

Dalam perspektif ini, para penyair sebagai pengguna bahasa, mau tidak mau, didesak membongkar penulisan puisi, agar puisi yang disebar memiliki karakter estetika yang bersandar pada logika-logika penulisan yang jelas dan lebih memanusiawikan bahasa sebagai sarana kerja yang lebih kualitatif. Sehingga sindiran yang sering ditujukan kepada “kubu” penyair, bahwa puisi Indonesia yang ditulis para penyair yang kehilangan bahasa ibunya selama-lamanya --para penyair yang akhirnya gagap dalam bahasa apa pun-- harus bergulat dalam bahasa yang terancam kemiskinan, dapat ditepis dengan semangat membongkar hutan belantara bahasa, sehingga puisi tidak terdesak dalam lingkaran yang sempit. Lingkaran yang dibuai oleh napas fanatsime dan keseragaman.

Isu perihal ideologi baru, yang pernah diapungkan sebagian penyair dan kritikus, menjadi tidak relevan untuk dikembangkan sebagai satau sarana transformasi gagasan dalam wilayah sastra. Sebab “ideologi baru” seringkali dijadikan medium komunikasi yang telah terdistorsi, untuk memper-tegas bahwa puisi yang disuguhkan ke wilayah pembaca, memiliki kebebasan baru dalam praktik penulisan puisi. Akhirnya jika kita menengok apa yang pernah dikatakan Habermas, komunikasi ideologi itu-lah yang perlu disembuhkan lewat dialog-dialog emansipatoris yang menghasilkan insight dan pencerahan dalam diri subjek-subjek yang berkomunikasi.

Sumber: Kompas, 9 Maret 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar