Rabu, 11 Januari 2012

PARALOGI: SATU RESIDU YANG TERSISA - Edy A. Effendi


twitter.com
Kenyataan sastra hari ini, mau tak mau, harus dilihat dan dipandang dalam prinsip-prinsip paralogi. Satu prinsip atau kaidah yang mendedahkan keberagaman realitas, unsur-unsur, dan ruang permainan dengan logikanya masing-masing, tanpa harus saling menindas atau mengerangkeng satu dengan yang lain.

Para cerdik pandai melihat realitas ini, ibarat permainan catur. Setiap bidak memiliki rule of game dan kehendak sendiri tanpa harus saling menindas bidak-bidak lain. Dalam paralogi, imajinasi merupakan kekuatan atau daya yang penting.

Paralogi tidak dibangun atas dasar kesepakatan melalui proses yang berkesinambungan dengan aturan main yang ada, melainkan melalui apa yang disebut Jean Francois Lyotard sebagai dissensus yang tidak selalu berkesinambungan. Paralogi juga tidak dibangun sepenuhnya atas penemuan-penemuan baru, melainkan berupa kemampuan menggunakan apa yang sudah ada, sudah tersedia dengan cara-cara baru.

Tentu saja, niatan melihat dan memandang sastra dalam bingkai kaidah paralogi ini berangkat dari lahirnya beragam produk sastra dewasa ini yang menyodorkan berbagai bentuk kreatif dengan cara tutur yang berbeda, dengan konvensi yang berbeda dan dengan gairah kreativitas yang menyebar ke segala arah.

Realitas kreatif

Pada tataran ini, Susan Sontag, kritikus seni, melihat lahirnya beragam realitas kreatif merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru: sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa harus membusungkan dada untuk selalu berada dalam garda depan atau menaklukkan realitas lain.

Pikiran Susan Sontag soal sensibilitas baru itu sejatinya sebagai cara merayakan dan merespons hadirnya kemajuan teknologi sekaligus meruntuhkan prinsip-prinsip kesatuan ontologis yang sudah tak relevan lagi dalam traktat konstelasi penciptaan dewasa ini. Sebuah cara yang memberi kabar bahwa kekuasaan telah terbagi-bagi dan tersebar ke berbagai arah, ke berbagai ruang dan membuka pintu demokratisasi teknologi.

Dalam lajur pikiran seperti ini, tentu saja didorong cara kerja Lyotard, bahwa dalam dunia yang sangat dipengaruhi kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Lebih jauh filsuf Perancis itu bergumam bahwa prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner, subyek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya narasi-narasi agung itu, telah kehilangan legitimasinya. Kisah-kisah agung modernisme itu hanyalah topeng yang bopeng, mistifikasi yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif, dan hanya menghuni ruang-ruang semu.

Maka, tak perlu memaksakan kehendak agar karya-karya sastra Indonesia melirik atau menaruh subyek uang dalam ruang-ruang kreatif. Apalagi seorang Bandung Mawardi berkeluh kesah dalam Uang, Modernitas dan Tafsir Sastra, (Kompas, 7/3) bahwa ”kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra. Uang tentu jadi perkara besar dalam biografi manusia-manusia Indonesia ketika dengan gairah atau gerah tumbuh dalam arus dan alur modernitas pada abad XX.”

Memang, jika kita mengikuti jejak pikiran yang ditebar Jean Baudrillard, kebudayaan dewasa ini adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang menempati peran penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang tak sekadar alat-tukar, lebih dari itu merupakan simbol, tanda, dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. Kebudayaan masa kini adalah sebuah dunia simulasi, dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra, dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan saling berkelindan.

Persoalan sastra hari ini bukan sekadar urusan tema, apalagi menganggap kesanggupan untuk menggarap tema uang mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra. Bukankah sebuah karya tidak saja didekati dari kerangka tema secara makro, tetapi seharusnya dikaji lebih subtil, detail, dan terstruktur ’darah daging’ karya itu sendiri? Tentu saja, tema seharusnya dibangun sebagai sarana untuk memproduksi makna-makna dan gagasan-gagasan dalam sebuah karya.

Salah baca

Kehendak Bandung soal tema uang ternyata disalahpahami Binhad Nurrohmat dalam Mata Sastra Tak Melirik Mata Uang? (Kompas, 14/3). Mawardi menginginkan tema uang menjadi isu sentral dalam sebuah penceritaan karya. Tema tak sekadar tempelan atau sampiran sebuah cerita. Tetapi, tema menjadi bagian integral dalam cerita itu sendiri. Tengoklah pikiran Mawardi yang mencoba menyisir soal perlunya tema dalam karya sastra. Ia melihat penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern.

Menjadi sebuah dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia, tentu tak sekadar mengusung tema uang menjadi subordinat dalam penggarapan sebuah kisah. Di sinilah letak kekeliruan Nurrohmat mengambil dua contoh kasus isu uang dari dua contoh yang ia pungut. Novel Telegram (1972) Putu Wijaya dan Pasar (1995) Kuntowijoyo yang dijadikan contoh kuasa uang Nurrohmat, bukan menjadikan tema uang sebagai pijakan dasar dalam cerita. Telegram, yang menjadi pemenang lomba menulis roman Panitia Tahun Buku Internasional 1972, dianggap novel yang berhasil meletakkan corak baru dalam wajah sastra Indonesia pada waktu itu.

Boen S Oemarjati membaca Telegram semacam collage beraneka ragam peristiwa sebagaimana termaktub dalam mata pikiran dan si penerima telegram. Atau A Teeuw mengungkap novel Telegram cukup berhasil membongkar berbagai pernik persoalan hidup manusia: paradoks manusia modern dalam keterasingan hidup.

Demikian juga dalam novel Pasar. Uang bukan menjadi tema sentral dalam pengisahan karena sejatinya dua tokoh utama, Pak Mantri Pasar dan Kasan Ngali, representasi nilai halus-kasar, pengejawantahan dari dua kultur manusia yang berbeda latar belakang. Pasar mengusung tema besar soal harmoni dan disharmoni dalam kehidupan publik.

Tindakan tafsir sastra, membutuhkan peranti konseptual yang lebih argumentatif, tak sekadar mencuplik petikan sebuah teks tanpa bergulat dengan teks itu sendiri. Hal ini disebabkan bahasa dalam sastra, mau tak mau, mengawinkan proyek imajinasi dengan realitas keseharian. Proyek perkawinan antara imajinasi dan realitas keseharian dalam kutub sastra inilah yang sering kali meramaikan pertikaian pemikiran sastra ke dalam ruang-ruang publik. Sastra dewasa ini sudah seharusnya dilihat dan dipandang dengan prinsip-prinsip paralogi. Catatan ini sekadar bahan tambahan bagi Mawardi dan pelajaran tambahan bagi mahasiswa baru: Binhad Nurrohmat.

Edy A Effendi, Penyair, Pendiri Kampoeng Seni UIN, Jakarta, dan Pengelola Lab Jurnalistik MAN Cipondoh, Tangerang


sumber: Kompas, 21 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar