Selasa, 10 Januari 2012

IRAMA

Oleh: Hasif Amini

Puisi adalah rangkaian kata-kata yang berirama. Dan satuan irama dalam bahasa adalah metrum. Dengan demikian, terasa aneh tapi nyata: sepanjang sejarahnya sejak awal abad ke-20, puisi Indonesia seperti kurang berurusan—baik bekerja maupun bermain—dengan metrum.

Ini tampaknya berhubungan dengan watak bahasa Indonesia yang tidak memiliki suku kata bertekanan maupun tak bertekanan—unsur dasar pembentukan ritme/irama dalam bahasa. Contoh: dalam bahasa Inggris, kata listen diucapkan dengan tekanan pada suku kata pertama, sedangkan suku kata kedua tanpa tekanan; sementara kata deserve sebaliknya. Adapun kata dengar maupun berhak (selaku padanannya) dalam bahasa kita tak memiliki perincian demikian. Kita boleh memberi tekanan di depan, atau di belakang, atau memberi tekanan pada keduanya, atau tidak sama sekali.

Metrum—pola irama susunan kata—memang bukan sekadar perkara suku kata bertekanan dan tidak, yang menciptakan sepasang ”kaki” (atau lebih) yang ”berjalan” atau ”menari” sepanjang larik dan akhirnya sepanjang puisi. Pola vokal dan konsonan maupun panjang-pendek kata dan larik dalam sebuah puisi tentulah juga memegang peran membentuk irama. Namun, tak adanya unsur ”kaki yang berjalan naik-turun” secara teratur dalam sebuah puisi tetaplah sebuah cerita ketidakhadiran. Paling tidak, absennya ”kaki” yang melangkah berirama itu kerap membuat ihwal ritme/irama dalam puisi Indonesia menjadi agak misterius: kehadirannya bisa dirasakan, tapi tak mudah diuraikan.

Semakin tak mudah ketika puisi telah melepaskan diri dari bentuk-bentuk baku—pantun, talibun, soneta, dan seterusnya—menuju puisi bebas. Puisi bebas adalah puisi yang menghendaki penciptaan ritme tersendiri yang khas bagi setiap karya. Dalam khazanah sastra yang memiliki puisi bermetrum di latar belakang, puisi bebas melepaskan diri dari kerangkeng formula penulisan puisi, tetapi sekaligus telah dirasuki oleh ”hantu-hantu” metrum yang bergentayangan memainkan irama-irama tersembunyi. Dalam khazanah sastra yang tak dikuasai tradisi puisi bermetrum, irama puisi bebas barangkali datang sepenuhnya dari diri si penyair. Dan akhirnya, pencapaian khazanah itu pun bergantung pada kehadiran sejumlah jenius dari waktu ke waktu, yang memetik sejumlah bahan dari khazanah lain dan mengolahnya hingga menjadi milik sendiri.

Atau mungkin kita perlu melihatnya dari arah lain?
Ya, mungkin. Misalnya: bahwa setiap bahasa, dengan latar belakang dan riwayat yang beragam, akhirnya punya watak berbeda-beda dan menghidupi khazanah sastra yang berwatak tersendiri pula. Dengan demikian, takaran-takaran untuk menimbangnya pun jangan-jangan tak bisa disamakan dan mesti diciptakan sesuai keperluan. Mungkin akhirnya setiap karya bergerak dan mendenyutkan irama yang berlain-lainan: ada yang dengan kaki berjalan atau menari, ada yang bersayap dan terbang tinggi, ada yang bersirip dan menyelam dalam, dan seterusnya. Mungkin.

KOMPAS 1 Agusutus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar